Di gugusan Kepulauan Riau, tepatnya di Kecamatan Siantan, berjejerlah
pulau-pulau asri yang belum terjamah oleh tangan-tangan manusia.
Pulau-pulau ini amatlah tenang. Kalau berjalan-jalan, maka yang
didapatkan
hanyalah kera dan tupai yang berlompatan dari satu batang ke batang lainnya.
Bila
malam merayap, takkan terdengar dendang pantun anak-anak dara yang
mengusik hati. Begitu juga dengan musik dan lagu. Yang ada hanyalah
bunyi deburan ombak memecah karang, serta suara burung hantu yang
bersahut-sahutan sepanjang malam. Konon, cerita hantu-hantu laut pun
ikut berjoget-joget.
Di antara gugusan pulau-pulau tersebut.
Terdapat satu pulau bernama pulau Matak, kalau dalam bahasa daerah
berarti pulau harapan. Suatu hari, beberapa bahtera melemparkan
jangkarnya, berlabuh di pantai pulau Matak. Angkatan bahtera itu
dipimpin oleh seorang hulubalang yang melarikan diri dari kerajaan pulau
Bintan. Pelarian itu ternyata disebabkan hulubalang tidak berkesesuaian
dengan raja di sana. Hulubalang ini bernama Dewa Perkasa yang berasal
dari negeri Campa. Maksud mereka singgah hanya untuk mencari minum dan
buah kayu di hutan untuk penambah bekal.
Seketika,
Dewa Perkasa mulai tertarik untuk menetap di pulau ini. Dicarinyalah
tempat yang bagus, maka berjumpalah sebuah gunung yang bernama gunung
Kota. Di sanalah Dewa perkasa dan anak buahnya mendirik
an
perkampungan. Mereka mulai bercocok tanam, seperti menanam kelapa, sagu
dan tanaman lainnya. Namun, pekerjaan yang paling penting, yang
sebagian dikerjakan oleh penduduknya adalah melanun (bajak laut). Mereka
membajak perahu-perahu terutama perahu dagang. Banyak harta rompakan
yang mereka dapatkan, apalagi jika bertemu dengan perahu-perahu dari
Bintan habis di rompaknya. Makanya, Datuk Dewa perkasa sangat ditakuti.
Sesuai
perkembangan, gunung Kota makin makin lama makin ramai. Untuk menjaga
keselamatan kampung dan pengikut-pengikutnya, maka didirikanlah
benteng-benteng. Namun demikian, Datuk Dewa Perkasa merasakan bahwa
kehidupannya kurang lengkap, karena belum ada yang melayaninya sebagai
seorang suami. Sebenarnya bukan tidak ada perempuan di kampung tersebut,
namun Dewa merasa belum ada yang cocok.
Suatu hari, dalam perjalanan
melanun, bertemulah mereka dengan iringan perahu-perahu. Ternyata
perahu-perahu tersebut berasal dari negeri Johor, maka terjadilah perang
senjata, sehingga banyak yang mati dan
luka parah.
Salah
satu dari perahu tersebut membawa seorang putri yang cantik molek.
Putri ini adalah salah seorang putri pembesar di negeri Johor. Sudah
menjadi adat perang yang kalah menjadi tawanan. Mereka boleh melakukan
apa saja terhadap tawanan perang.
Bagaimanakah dengan tawanan yang
cantik molek tersebut? Rupanya ini adalah awal kehidupan baru bagi Datuk
Dewa Perkasa. Dewa Perkasa sudah tertawan hatinya kepada sang putri.
Maka dinikahinyalah Putri Johor itu dengan membuat pesta tujuh hari
tujuh malam.
Dari Rahim Putri Johor, lahirlah seorang dara yang
sangat elok, dan diberi nama dengan Putri Sri Balau Selak. Dia pun
diasuh dengan penuh kasih sayang hingga dewasa. Keanehan dari putri ini,
dia suka mengenakan tudung kain bertabur Siantan, sehingga kalau di
luar rumah, majahnya susah dilihat.
***
Terdengarlah empat perahu
terdampar di teluk gunung Kota. Penduduk menjadi gempar. Datuk Dewa
memerintahkan anak buahnya untuk menyongsong ke pantai, untuk menanyakan
apa maksud kedatangan mereka. Jika yang datang dengan makud baik, maka
terimalah dia sebagai sahabat, jika jahat, tentunya harus dilibas.
Ternyata orang-orang di dalam perahu-perahu itu tidak menunjukkan sikap
yang bermusuhan. Di dalamnya adalah seorang pemuda yang gagah.
Maka naiklah mereka ke darat menghadap Datuk Dewa. Sambil memperkenalkan diri dengan berpantun;
Hamba bernama Pangeran Merte,Putera mahkota Negeri Brunei.Tapi tidak hamba sangkaTerdampar di negeri yang permai
Hajat pergi ke negeri Bintan,Menghadap paman Sultan Junjungan.Apa daya hajat tak sampai,Perahu kami di hantam badai.
Pangeran
Merta mengharapkan bantuan dari Datuk Dewa Perkasa, untuk memperbaiki
perahu-perahu yang rusak. Maka Datuk Dewa memerintahkan orang-orangnya
untuk membantu Pangeran Merte. Sebagai orang tua, Dewa Perkasa sudah
banyak makan asam garam dalam hidupnya. Dia sangatlah tertarik dengan
tingkah laku Pangeran Merte. Sesuai dengan pepatah "Bahasa menunjukkan
bangsa".
Sejak saat itulah, Datuk kaya Dewa Perkasa berazam dalam
hati, untuk menjodohkan anaknya Puteri Sri Balau Selak dengan Pangeran
Merte. Rupanya gayung pun bersambut, maka dipinanglah Balau Selak oleh
Pangeran Merte. Datuk kaya Dewa Perkasa merasa bahagia karena hajatnya
telah tercapai.
Hidup orang di negeri itu kembali berjalan seperti
biasa. Pekerjaan sebagai bajak laut sudah belasan tahun ditinggalkan
lagi. Namun, kampung di gunung Kota yang memang sudah sempit untuk
tempat tinggal, tidak dapat lagi menampung perkembangan penduduk yang
begitu pesat. Datuk Kaya Dewa Perkasa memerintahkan kepada Merte,
menantunya, untuk mencari tempat yang baik didirikan negeri baru.
Pangeran
Merte mengusulkan agar cara memilih sebuah negeri dengan memakai
adat-istiadat Brunei. Caranya, diambil batu dari dua tempat itu sebanyak
dua tempurung. Kemudian batu-batu itu dirempak.
Setelah dikerjakan
rempak batu itu, ternyata salah satu batu itu dapat dirempak. Tanah yang
batunya dapat dirempak itulah tempat yang cocok untuk didirikan negeri.
Maka berdirilah sebuah negeri yang baru dengan nama kampung Terempak
(dapat dikunyah). Kemudian berubah menjadi Terempa hingga terkenal
sampai sekarang. Demikianlah Datuk Kaya Dewa Perkasa dan Pangeran Merte
hidup damai dengan pengikut-pengikutnya. Pangeran Merta, di kampung
Teluk dan Datuk Kaya Dewa Perkasa di kampung Tanjung.
Sampai
sekarang masih ada keturunan mereka di Terempa. Terempa sebagai
ibunegeri Ex Kewedanaan Pulau Tujuh, Kabupaten Kepuluan Riau, ternyata
mempunyai peninggalan berharga seperti dua buah meriam desa Tanjung dan
Teluk, Keramat Siantan, Air terjun tujuh tingkat yang di kelilingi
pantai-pantai yang indah dan tempat wisata lainnya.